Dia adalah teman semenjak saya masih ingusan. Kami bertemu saat hidup masih terasa begitu mudah, bebas beban, dan tanpa dosa. Belum berpikir mengenai mulusnya paha, gak berminat memelototi sepasang buah dada.
Dia dan saya menghabiskan masa bermain di sebuah TK yang sama. Saya gak pernah lupa saat dia dan teman-teman saya yang lainnya menyanyikan lagu selamat ulang tahun yang kelima buat saya, berbagi bekal, lari-larian, atau berebut buku dengan balutan seragam putih hijau yang semakin lama semakin lusuh itu.
Dua tahun bersama di TK seakan belum cukup saat kami menghabiskan enam tahun masa-masa belajar bengal khas sekolah dasar di tempat yang sama pula. Di mana ada saya, di situ ada dia. Belajar bersama, makan bersama, main bola bersama. Kadang saya juga tertawa kalo ingat saat-saat dimana kami boker bersama, dengan toilet yang berbeda tentunya. Boker bersama dan bercengkrama. Menyenangkan dan selalu banyak tawa.
Tawa yang terhenti sejenak saat saya menerima telefon dari dia di malam itu. Ayahnya meninggal. Saat para tamu memenuhi rumahnya untuk berdoa, saya hanya bisa diam dan gak tau harus berbuat apa. Mungkin merupakan sebuah kebodohan saat saya berusaha menghibur dia dengan memunculkan tawa diantara kami berdua. Tawa yang sarat kesedihan, terlalu dipaksakan.
Delapan tahun bersama cuma awal dari segalanya. Lagi-lagi kami menghabiskan masa putih biru di SMP yang sama. Masa-masa dimana kami mulai kenal wanita. Masa-masa dimana perkara cinta mulai terlihat lebih menarik daripada bermain bola. Beberapa hal mulai berubah, tapi bukankah semuanya memang pasti akan berubah?
Cerita kami berdua berlanjut ke masa SMA. Menghabiskan hampir dua tahun bersama meskipun akhirnya dia memilih jalan yang berbeda. Jalan yang berbeda namun kesedihan yang sama saat saya mendengar kabar ibunya menyusul sang ayah menghadap Yang Maha Kuasa. Mungkin, atau pasti, hidupnya jauh terjatuh. Gak pernah mudah saat kita ditinggal orang-orang terdekat, dan gak pernah mudah saat harus melihat dia diam menerawang dengan tangis yang tercekat.
Beranjak dewasa dan jalan kami pun semakin terlihat berbeda saat saya memutuskan kuliah di luar kota. Bandung, kemudian Jakarta.
Beberapa saat yang lalu kami berdua bertemu di ibukota. Banyak berbincang tentang nostalgia masa lalu dan kehidupan masa kini yang terlihat semakin berat, berat dan berkarat. Perbincangan sampai dini hari telah memberi tahu saya bahwa waktu telah merubah banyak hal. Terlalu banyak hal.
Mungkin kadang saya merasa banyak problema yang membuat hidup terasa begitu sulit, tapi problema yang dihadapinya sama sekali gak sedikit. Hidup saya gak mudah, tapi hidupnya terlihat lebih susah. Tawa dini hari gak bisa menutupi beban dan kerinduan yang berusaha keras untuk ditutupi. Beban dan kerinduan yang membuatnya terlihat seperti padi.
Padi yang tertunduk dan merindukan siraman pupuk seorang petani
Sebuah proses panjang telah membuat kami menjadi sepasang sahabat. Dan, hey sahabat, masih banyak jalan untuk tertawa dan bahagia dalam arti yang sebenarnya. Mungkin petani itu telah pergi, tapi masih banyak hal yang pantas dan memang harus diperjuangkan dan dimenangi.
Hey sahabat, bahkan saat mereka gak ada lagi di dunia, semoga mereka tetap bisa tersenyum bangga saat melihatmu dari surga
No comments:
Post a Comment