Hidup itu dinamis. Dinamis dan sulit ditebak. Kadang hidup kita berasa seperti kolam renang. Tenang, nyaman, menyenangkan. Berenang dari satu tepi ke tepi yang lain. Sangat tenang sampai kita lupa kalo hidup bisa dengan cepat bergejolak. Keras, deras, dan menegangkan. Melempar-lempar kita dari satu sisi ke sisi yang lain. Liar, gak terkendali, sama sekali gak mirip kolam renang, lebih seperti gelombang tsunami.
Hidup yang dinamis jadi tantangan yang berat bagi mereka yang idealis. Karena, hidup yang dinamis bikin apa yang disebut "biru" bisa jadi "hijau", "ungu", atau "abu-abu" seiring berjalannya waktu. Saya pribadi lebih suka menempatkan diri sebagai sosok yang idealis-oportunis-pragmatis. Kontradiktif? memang ! Tapi, mari bangun dari mimpi. Abad ke 21 bukan lagi sebuah masa di mana kita bisa dengan membabi buta dan pukul rata mengagung-agungkan doktrin-doktrin atau ideologi yang kita yakini. Selalu perlu improvisasi dan adaptasi di sana-sini.
Dan, lagi-lagi, karena hidup itu dinamis, pengecualian-pengecualian mutlak gak bisa dipinggirkan. Pada dasarnya saya perokok Marlboro, kecuali saat dompet kurang hangat, tebal, dan bersahabat saya akan menjadi perokok Surya Pro. Atau mereka, Adolf Hitler, Napoleon Bonaparte, dan Julius Caesar. Gak ada yang meragukan kapabilitas mereka. Idealis, great leader, powerful, pemberani. Membunuh banyak musuh, mencumbu dan meniduri banyak istri.
Mungkin mereka gak akan gentar saat ditodong senapan, dijadikan sasaran meriam, atau saat lehernya berkalungkan pedang lawan. Tapi, tahukan kalian kalo mereka akan merasa terancam atau ketakutan saat harus dihadapkan dengan seekor kucing? Ya, ketiga tokoh pemberani itu mengidap ailurophobia. Ketakutan terhadap kucing. Mungkin mereka tidak punya ketakutan lain, kecuali pada kucing. Binatang yang imut, lucu, dan suka eek sembarangan itu !
Next step. Terkadang pengecualian-pengecualian akan melahirkan tindakan yang terlihat seperti meludah-menjilat-dan menelan kembali ludah sendiri. Seperti kata peribahasa yang sering diulang guru Bahasa Indonesia kita, menjilat ludah sendiri. Terlihat menjijikan ? Seorang pure idealist pasti akan berteriak lantang : "memang !". Tidak berpendirian ? mungkin. Kurang kerjaan? bisa jadi. Tapi gak ada asap kalo gak ada api. Selalu ada alasan dan pembenaran di balik setiap tindakan.
Ray Cappo, mantan vokalis Youth of Today, Better Than a Thousand, dan Shelter. One of the most strict xStraightedgerx di tahun 80-an. [FYI : Straightedge, biasa menggunakan lambang XXX, subgolongan dari dunia musik underground (dalam hal ini hardcore/metal) yang lantang meneriakkan penolakan terhadap alkohol, rokok, dan drugs.] Tahukan kalian apa yang akhirnya terjadi pada Ray Cappo?
RAY CAPPO GOT SELLOUT ! Saya ulangi lagi, SELLOUT ! Istilah yang digunakan di kalangan xStraightedgerx bagi mereka yang melanggar ikrar-ikrar Straightedge. Ya, Ray Cappo menenggak segelas wine saat show di Italy bersama Better Than a Thousand. Ray Cappo, salah seorang (mungkin sekarang mantan) xStraightedgerx paling keras di jamannya menenggak segelas wine yang berarti sebuah pengecualian dan bisa dilihat sebagai tindakan "meludah-menjilat-dan menelan kembali ludah sendiri" seperti saya katakan tadi.
Saya gak pake kaos bersablon XXX atau mentatto punggung tangan dengan huruf X. Saya seorang perokok. Saya bukan xStraightedgerx. Jadi, saya gak (atau mungkin belum) peduli dengan ikrar-ikrar dan ideologi mereka. Tapi coba lihat! Seorang Ray Cappo yang mungkin salah satu yang paling lantang meneriakkan paham Straightedge di masanya pun ternyata bisa menenggak segelas wine di Italy dan "meludah-menjilat-dan menelan kembali ludah sendiri".
Sama sekali saya gak menyudutkan para xStraightedgerx dengan paham Live Free Die Hard dan lambang XXX nya. Yang ingin saya katakan adalah, mungkin (kalo gak boleh dikatakan pasti) apa yang terjadi pada Ray Cappo bisa terjadi pada diri kita. Coba mengaca. Coba putar memori. Ulangi tiap potongan kehidupan, dan kita akan menyadari kalo kita pernah "meludah-menjilat-dan menelan kembali ludah sendiri". Belum pernah? suatu saat nanti pasti !
Hidup ini terlalu dinamis untuk menjadi seorang pure idealist
Saya gak membenarkan tindakan mempecundangi komitmen seperti Ray Cappo, juga gak memandang segelas wine merupakan harga yang pantas dibayar dengan ikrar-ikrar dan atau sebuah ideologi.
Tapi kalo kita menemukan yang sepadan (atau mungkin lebih) dengan apa yang akan kita korbankan, lantas kenapa kita gak berkorban?
Mari meludah-menjilat-dan menelan kembali ludah kita sendiri !
Bukan era kacamata kuda, Ray Ban terlihat lebih keren
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletehahahaa, nice opinion Mas... Tapi saya gak peduli dengan Ray Cappo itu sXe atau bukan, toh dalam essay nya Ray Cappo tidak pernah menyesali dengan masa lalunya, karena YOT-lah maka Cappo mencapai pencapaiannya hidupnya skarang, menempatkan ajarah Hindu sebagai pedoman hidupnya sekarang... dia pun berubah bukan menjadi karakter yg dia benci dari lirik2 yg ditulisnya di YOT, dia masihlah seorang vegan, yang menjunjung hidup sehat (walaupun dengan toleransi bahwa alkohol dengan kadar tertentu masihlah sehat), bahkan seorang aktivis untuk itu (vegan)... kalau sempat mas Hurip silahkan nonton EDGE the movie, ada banyak sisi positif dari Mr Cappo (yg sakarang) disitu...
ReplyDeletebest greetings Mas Ardy :)
ReplyDeleteYang pertama saya ucapkan terimakasih sudah paying attention buat postingan saya, sekali lagi terima kasih :shakehand:. Yang kedua mungkin saya mau meluruskan, sama sekali saya gak bermaksud memojokkan Ray Cappo. Kalo diliat lagi postingan saya, benang merahnya bukan pada Ray Cappo. Ray Cappo cuman sebagai contoh kecil. Secara personal saya sangat menghormati Ray Cappo, dan kalo saya menyitir sedikit perjalanan hidup seorang Ray Cappo saya cuma ingin menjadikannya sebagai contoh tanpa menafikan rasa salut saya atas banyak hal yang telah dilakukannya. Gak bermaksud memojokkan, atau menjelekkan.
Oh iya, terima kasih buat rekomendasi Edge The Movie nya, akan segera saya tonton, ASAP :)