Sunday, September 2, 2018

Ramalan Cuaca


Laki-laki itu bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian meraih sloki yang lain.

Sudah sekira tiga puluh tujuh menit yang lalu sejak lelaki itu memesan sloki Wyborowa vodkanya yang pertama. Tak sedikitpun digubrisnya musik yang riuh di tengah bar yang hampir-hampir penuh. Tatapannya yang kosong seakan menahkikkan air muka yang telah lelah berusaha memecahkan rumus-rumus kesedihan yang tak terelakkan.

Kesedihan yang bahkan tak jua mampu dihapuskan oleh seorang pramuria yang mendatanginya untuk menawarkan sebentuk kehangatan yang lain. Mungkin, untuk lelaki itu, malam ini sudah terlanjur dingin. Benar-benar dingin. Teramat dingin. Hingga tak ada lagi yang lebih dingin. Dingin yang kutau bisa kuhapuskan, tapi ku tak ingin. Tak butuh waktu lama bagi sang pramuria untuk beranjak dengan tangan hampa karena tahu betul bahwa kesedihan yang benar-benar dalam adalah serupa sakit akut yang tak benar-benar dapat disembuhkan dalam satu malam. Atau bermalam-malam.

Televisi yang tergantung di atas deretan botol-botol minuman impor menayangkan balap motor dan berita perang mancanegara dan pertandingan-pertandingan gulat Amerika, dengan  sesekali pariwara ramalan cuaca. Ramalan cuaca yang diyakininya, lelaki itu, tak lebih dari sepotong, atau berpotong-potong omong kosong. Baginya yang lampau adalah topan, yang kini adalah badai, yang esok adalah taifun.

Laki-laki itu masih bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian, sekali lagi, meraih sloki yang lain.

Dilipatnya tangan kanannya di meja bar yang sejajar dada, dengan tangan kiri yang sibuk menopang dagu, kepala, dan sepasang mata yang seperti membersitkan imaji tanah kuburan-kuburan tua dan ladang-ladang gandum yang terbakar dalam senja. Sepasang mata yang menjelmakan gambaran bunga-bunga sakura yang layu dan rumah tua tak terawat yang sedih dan berdebu. Sepasang mata yang tak benar-benar asing, sepasang mata yang lalu beradu dengan mataku, dan tiba-tiba, bagiku, yang lampau adalah topan, yang kini adalah badai, yang esok

adalah entah.

***

Aku bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian kembali meraih sloki yang lain.

Sudah sekira tiga puluh tujuh menit yang lalu sejak aku memesan sloki Wyborowa vodka yang pertama. Tak sedikitpun kugubris musik yang riuh di tengah bar yang hampir-hampir penuh. Tatapanku yang kosong seakan menahkikkan air muka yang telah lelah berusaha memecahkan rumus-rumus kesedihan yang tak terelakkan. Benar begitu memang.

Kesedihan yang bahkan tak jua mampu dihapuskan oleh seorang pramuria yang mendatangiku untuk menawarkan sebentuk kehangatan yang lain. Mungkin, untukku, malam ini sudah terlanjur dingin. Benar-benar dingin. Teramat dingin. Hingga tak ada lagi yang lebih dingin. Dingin yang kutau hanya bisa dihapuskan oleh satu nama, dan bukan oleh yang lain. Tak butuh waktu lama bagi sang pramuria untuk beranjak dengan tangan hampa karena tahu betul bahwa kesedihanku yang benar-benar dalam adalah serupa sakit akut yang tak benar-benar dapat disembuhkan dalam satu malam. Atau bermalam-malam.

Televisi yang tergantung di atas deretan botol-botol minuman impor menayangkan balap motor dan berita perang mancanegara dan pertandingan-pertandingan gulat Amerika, dengan  sesekali pariwara ramalan cuaca. Ramalan cuaca yang kuyakini tak lebih dari sepotong, atau berpotong-potong omong kosong. Bagiku yang lampau adalah topan, yang kini adalah badai, yang esok adalah taifun.

Aku masih bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian, sekali lagi, meraih sloki yang lain.

Kulipat tangan kananku di meja bar yang sejajar dada, dengan tangan kiri yang sibuk menopang dagu saat kusadari bahwa tujuh depa dariku terdapat sepasang mata itu. Sepasang mata yang seperti membersitkan imaji padang rumput hijau yang permai dan debur ombak pantai yang damai. Sepasang mata yang menjelmakan gambaran bunga-bunga gladiol yang mekar mewangi di halaman rumah tempatku berpulang setiap hari. Sepasang mata yang kutau darinya, dan hanya darinya, bisa kudapat hangat yang paripurna, yang benar-benar berbeda, teduh yang betul-betul lain. Sepasang mata yang akan kuyakinkan kembali bahwa biji harapan akan tumbuh, meski di tanah kenangan yang kejam dan tandus. Malam ini akan kuhampirinya, sepasang mata itu, dengan membawa sebuah ramalan cuaca.

Bahwa yang lampau adalah topan, yang kini adalah badai, namun yang esok

adalah Sabtu sore yang cerah.

Sunday, January 28, 2018

Anggit Briliantin Hanifah: Sebuah Obituari

Kabar kematian adalah seorang brengsek yang mendobrak pintu rumahmu tanpa permisi untuk menghantarimu setumpuk nestapa, lantas meninggalkanmu tanpa sepatah dua patah kata sampai jumpa. Kabar kematian selalu sebrengsek itu. Seorang brengsek yang kembali tiba saat Anggit Briliantin Hanifah; seorang teman yang baik dan gadis periang yang menyenangkan; harus meninggalkan keluarga, kekasih, dan teman-teman yang sungguh mencintainya dengan tiba-tiba, dan untuk selama-lamanya.

Seorang bijak pernah mengatakan bahwa sebagian orang dilahirkan ke dunia untuk menjadi penyendiri, sebagian yang lain terlahir untuk menjadi periang dan mempunyai banyak teman. Onjit, sebagaimana ia banyak dikenal dan dikenang, berada di kelompok yang kedua. Tidak akan sulit bagi siapapun yang mengenalnya secara pribadi untuk mengamini bahwa Onjit semasa hidupnya adalah gadis yang terlalu periang dan pribadi yang terlalu menyenangkan untuk tidak dijadikan seorang teman. 

Pada hari kerja tepat pada pukul dua saat kamu sedang sibuk-sibuknya ia akan mengirimimu kabar bahwa tempat nongkrong favoritmu kini menyediakan varian minuman baru, sebuah kabar yang tidak akan membuat hari-harimu lebih indah tapi akan membuatmu tahu kemana harus bertandang saat penat datang. Di akhir pekan ia akan mengirimkan promo dagangan aneka produk perawatan anti jerawatan, produk-produk yang diklaimnya akan membuatmu lebih rileks dan tidak uring-uringan pun cocok diaplikasikan sambil mendengarkan Britpop di hari Sabtu dan membaca buku di hari Minggu. Pada suatu siang yang terik ia akan menasehatimu untuk bekerja dengan tekun dan giat karena gajimu adalah uang rakyat, sembari mengingatkan bahwa ia adalah bagian dari rakyat yang karenanya berhak mendapatkan jatah traktiran kelak saat kamu pulang. Di suatu pagi yang biasa saja ia akan tiba-tiba memintamu untuk membelikan jam tangan seharga satu setengah juta sambil mengingatkan bahwa sudah terlalu lama sejak terakhir kali kamu belanja untuk seorang wanita, sebuah cara yang ia yakini bisa mendorong seorang teman untuk lekas sembuh dari patah hati dan siap untuk jatuh cinta lagi. Selalu sesatir, sebrengsek, dan seabstrak itu.

Onjit mempunyai banyak daya untuk menggunjing dan memperolok orang, sebagaimana kita semua, pun ketahanan luar biasa untuk menyemangatimu saat sedang tidak baik-baik saja. Ia bukan seorang kawan palsu yang akan selalu bersepakat denganmu. Ia akan menguliti dan menelanjangimu dengan apa adanya. Memaki, membodoh-bodohkan, pun menasehatimu tepat pada waktunya.

Onjit akan membuatmu berdosa, lalu berdoa, menangis, kemudian tertawa, mengobati patah hati-patah hati agar siap jatuh cinta lagi, meyakinkan bahwa setiap permasalahan hadir untuk ditaklukkan; dan banyak hal-hal tulus dan menyenangkan lainnya yang tidak akan bisa disebutkan satu per satu; secara regular dan kontinu. Ia tidak akan berhenti berusaha menghentikan tangismu sampai kamu kembali tertawa, ia tidak akan lelah menjadi temanmu hingga pada akhirnya kamu akan kembali percaya bahwa kawan yang menyebalkan dan baik dan tulus sekaligus bukan mustahil adanya.

Tidak akan ada lagi Onjit yang akan mengirim pesan pukul dua belas malam hanya untuk menanyakan apa zodiakmu dan bagaimana suasana hatimu. Pun demikian dengan pertanyaan-pertanyaan yang konyol dan tiba-tiba seperti apakah kamu sedang kesepian atau baik baik saja. Pertanyaan-pertanyaan tentang arti kehilangan, pun kesepian, yang akhirnya menemukan jawaban tepat saat seorang teman baik pergi dengan tiba-tiba, dan untuk selama-lamanya.

Disana, entah di bagian mana, malaikat telah menyambut kedatangan seorang gadis jenaka nan periang yang akan membuat akhirat jauh lebih menyenangkan. Disana, entah di bagian mana, kamu percaya bahwa Onjit sedang bercengkerama, dan sangat mungkin sambil tertawa, bersama Penciptanya. Sang Pencipta itu pasti tahu bahwa Onjit memang bukan hamba yang paling patuh dan taat, namun ia tuntas menyelesaikan tugas sebagai manusia yang tulus, sebagai pribadi yang jujur dan apa adanya, dan sebagai seorang teman baik yang tidak pernah alpa membantu sesiapa yang membutuhkannya. 

Disini, malam ini, untuk kepergiannya yang meninggalkan ruam-ruam kehilangan yang tak kunjung luruh, kupanjatkan pengharapan-pengharapan baik untuknya dengan sungguh, dengan penuh seluruh. 

Selamat beristirahat.