Saturday, June 11, 2016

Tenggat Waktu

Tengah tahun tak semestinya jadi musim penghujan, apalagi hujan yang lama dan panjang dan awet,  lebih awet dari kisah kasih cinta monyet. Air tak henti hentinya menetes dari langit dari ujung daun dari genting dari talang rumah tetangga yang sudah dua bulan lamanya tak kau sapa. Langit tak bosan bosan berawan mendung, persis seperti air muka yang nampak selalu murung.

Kisah kasih-kasihan yang karam akan mengajarkanmu bahwa untuk menjadi murung bukanlah perihal yang sulit-sulit benar. Akan ada sepetak ruang yang hanya bisa kau buka saat punya sekodi rasa berani dan sekepal rasa tegar. Mungkin kemarin, nanti, esok, tak akan pernah, atau entah. Terakhir kali saat kau buka tempo hari ruang itu masih saja penuh irisan-irisan kenangan, ah ruam-ruam yang belum juga mengering.

Sisa hujan menetes di sisa malam yang semakin kuyup semakin dingin semakin berat dan tersisa hanya sepertiganya saja. Air yang mengalir deras di kanal tengah kota akan menghanyutkan apa saja, kecuali sisa-sisa luka. Anjing melolong lantang, dan panjang, saat jangkrik merintih lirih, dan pelan, seperti puncak main cinta yang tertahan.

Tapi hidup adalah perihal memberi, menerima, dan merelakan pergi yang ada dan yang pernah ada. Diantara ketiganya merelakan pergi adalah urusan yang tak pernah mudah, pun begitu dengan mengaku salah, dan mengaku kalah. Tapi oh sayang, bukankah kebenaran tak pernah hadir dalam rupa yang telanjang? Maka kenyataan adalah barisan kesalahan dan kekalahan dan kepahitan, dan kepura-puraan, yang harus bulat-bulat ditelan atau ditenggak pelan-pelan.

Di ujung malam genangan ciptaan hujan memantulkan cahaya tapi kenangan adalah musuh raksasa yang bisa tiba semaunya saja. Kau menengadah berharap menatap langit dan awan dan sedikit bintang, tapi yang nampak hanyalah kelambu yang remang-remang dan kelabu yang bergoyang-goyang. Sendu menelungkupi kota dan apa saja dan air mukamu dan sepetak ruang itu. Angin subuh pergi dan datang kembali tanpa permisi menembus jendela, memporak porandakan sepetak ruangmu tanpa sisa, lantas membasuh relung hati manusia-manusia yang sedang kecewa.

Ayam berkokok. Adzan berkumandang. Lampu teras dimatikan. Malam mulai turun, harapan musti mulai naik.

No comments:

Post a Comment