Tuesday, May 28, 2013

Agama: Ritus Sakral, Toleransi, dan Komersialisasinya

Agama, sebuah kata yang banyak didefinisikan sebagai kebenaran yang disakralkan, yang disucikan. Sebuah tata keimanan yang selain mengatur relasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya, juga mengatur relasi antar seorang hamba dengan kuasa tertinggi Sang Pencipta. Yang oleh karenanya agama seringkali menjadi sesuatu yang begitu luhur dan tinggi. Agung dan begitu suci.

Namun ucapkan selamat datang pada era ekonomi kapital, masa dimana segala ada harganya. Apa yang dulunya luhur dan suci bisa menjadi ajang memperkaya diri empunya kapital ekonomi. Untuk Islam sebagai agama mayoritas di negara kita, misalnya. Jika kalian adalah pemilik stasiun televisi swasta yang melihat bahwa rakyat kita sedang dalam dahaga keimanan luar biasa, maka bikin saja acara doa dan dzikir akbar, dibawakan oleh pendakwah ngartis yang tenar dan terkenal. Jangan lupa bahwa kita, rumpun Melayu, cinta segala sesuatu yang sendu dan mendayu-dayu. Maka kemudian pendakwah-pendakwah itu tenar bukan karena baris hadits yang shohih dan benar, tapi karena acara doa yang menjual dramatisasi dan air mata. 

Rakyat suka dan apa yang dijual laris manis di pasar. Empunya kapital semakin kaya dan masyarakat pertelevisian kita tetap dahaga, kering kerontang pemahaman agama. Yang mungkin karena itulah kita (atau oknum) pemeluk agama mayoritas di negeri ini kurang memahami apa itu tenggang rasa, apa ini toleransi. Membabi buta menolak pembangunan rumah ibadah agama liyan di tengah semangat kebebasan beragama, contohnya. Membuat remuk redam mereka yang tak sepaham, misalnya.

Lalu bagaimana dengan agama minoritas di negara kita? Cermati isu terkini: Buddha dengan perayaan Waisak nya. Telah banyak diperbincangkan bahwa perayaan Waisak beberapa hari lalu yang seharusnya merupakan ritus sakral agama menjadi tak ubahnya sebuah wahana wisata. Ajang akumulasi kapital karena dipandang sebagai atraksi yang menjual. Konon sebuah travel agent menawarkan tiket seharga 70 dolar kepada para turis manca untuk "menikmati" prosesi Waisak dari awal hingga akhir acara. Belum lagi kabar komersialisasi penginapan oleh warga sekitar, dan berbagai rupa komersialisasi lainnya yang oleh karenanya menjadikan apa yang seharusnya merupakan ritual sakral jadi tak lebih dari sekedar gegap gempita seremonial.

Bhante yang khusyuk yang merapal sutra diambil gambarnya oleh wanita berhotpants pengumbar paha dan lekuk dada. Ditambah para turis yang riuh berbicara, maka tolong jelaskan bagaimana bisa melahirkan keintiman ritual agama antara seorang hamba dengan Pencipta nya? 

Tentu mereka yang membuat kekacauan (meski tidak semua seperti itu) bukan hanya mereka turis yang Islam saja, dan bukan hanya mereka turis yang Kristen saja, misalnya. Apapun itu agamanya sudah selayaknya memberi dan menerima perlakuan yang sama. Bahwa sebenarnya altar candi dan berbagai arca dengan masjid dan berbagai ornamennya adalah sama. Bahwa sebenarnya bhante yang duduk bersila membaca sutra dengan ulama yang khidmat berzikir adalah tiada berbeda. Maka jika masjid begitu suci mengapa candi begitu mudah dikotori? Maka jika ulama begitu disegani mengapa bhante yang sedang khusyuk dapat dengan lancangnya difoto wanita seksi?
 
Salahkan era ekonomi kapital. Salahkan toleransi, dan tenggang rasa, yang hanya teruntuk mereka yang minor suaranya. Praktik keagamaan sekarang ini, semoga tak sekedar menjadi mesin uang miskin toleransi.

No comments:

Post a Comment