Pukul satu lebih empat lima coba kamu bertanya akan melakukan apa. Tiga jam yang lalu di tempatmu masih banyak kopi dialog dan tawa, tukang nasi goreng mendorong gerobaknya juga. Kini, di pukul satu lebih lima satu, kelaziman mengira bahwa temanmu hanya waktu dan tokek yang asik bercumbu.
Padahal dini harimu tak sesederhana itu.
Rivan mungkin sedang joget berdendang bersama lampu yang berwarni dan berwarna. Hinggil mungkin sedang membaca Also Sprach Zarathustra dan Meki menyimak Blur yang olehnya selalu dipuji dan dipuja. Bulan bergerak diam-diam dan embun datang,
tenang-tenang.
Dini hari tak sesederhana yang khalayak kira karena di saat yang sama hati dan otak lantang berteriak, sedikit terkoyak dan banyak terbahak-bahak. Tiga jam yang lalu kami tak akan pernah menjadi seintim ini, lebih banyak saling memandang berdiam diri. Terlalu banyak yang mendekat, sok bersahabat, padahal penjilat pantat. Terlalu banyak penebar cinta, pembuih cita, penumbuh luka. Terlalu banyak kamuflase, yang setelah kau lihat lebih keras sampai capai,
ternyata klise. Anjing !
ternyata klise. Anjing !
Hati dan otak tak perlu tanda seru untuk tau pekikmu. Hening dini hari adalah keramaian tanpa suara, keintiman tanpa muara. Tumbukkan hati dan otakmu, akan ramai karena mereka tak pernah bisu.
Hening dini hari adalah banal dan itu mengapa nocturnal selalu kekal.
Hening dini hari adalah banal dan itu mengapa nocturnal selalu kekal.
Ini adalah saat tanpa distraksi, saat dimana otak dan hati bermasturbasi dengan bahagia dimana tangis dan atau tawa sebagai ejakulasinya.
Ini adalah saat dimana kamu bisa tertawa bersama bintang, atau menangis berdua bersama rembulan di halaman. Iya, menangis tersedu yang lalu dengan begitu bulan akan membisikimu,
"Jangan sebal dan bersedih, lihat diriku, gelap tak selamanya tanpa cahaya."
No comments:
Post a Comment