Kartiniku Bukan Kartinimu

Dua ribu dua belas adalah saat dimana makin sedikit para wanita yang mengenakan kebaya. Ini bukan lagi jaman Belanda baheula, kata mereka, dan kemudian selekasnya berganti kaos ketat pengekspos puting payudara dan celana pendek sependek liang pangkal paha.

Apa kebaya memang hanya untuk Kartini dari Jepara saja? Kata guru sejarahmu dia adalah wanita kuat bernyali hebat. Menulis surat pada nonik Belanda tentang kebencian terhadap perkawinan, tapi pada akhirnya tetap jadi istri kedua demi cita-cita bikin sekolah bagi wanita bumiputera yang ia perjuangkan. Meninggal muda saat melahirkan, Kartini seperti mati menghadapi belenggu yang ia lawan sendiri. Harum namanya, katanya, dan lantas menjadi pahlawan tokoh pujaan emansipasi di masa kini dan mungkin seratus tahun lagi nanti.  

Coba tanya bagi orang Aceh yang punya Cut Nyak Dien dan orang Maluku yang punya Martha Christina Tiahahu, apa mereka akan memandang Kartini dari Jepara dengan cara yang sama? Iya mungkin, atau tidak mungkin karena kamu tidak boleh menutup mata bahwa apa yang spesial bagimu belum tentu spesial dan sesuci itu bagi saudaramu, seperti kenyataan bahwa mungkin Kartinimu bukan Kartini rakyat Aceh atau Maluku.

Mengkultuskan Kartini adalah pembunuhan terhadap arti wanita itu sendiri. Mengkultuskan yang seperti melupakan bahwa mereka yang di Saritem Bandung, Sarkem Jogja, Blok M, atau Gajah Mada sana mungkin Kartini juga, dengan cara dan untuk keluarga mereka sendiri tentunya. Mengkultuskan yang seperti melupakan bahwa kamu punya Kartini sendiri yang dahulu tiap pagi menyuapi dan meneneni ASI.

Tidak perlu mundur seratus tahun lagi untuk kembali mencari siapa itu Kartini. Kartini bukan pahlawanmu, Kartini cuma satu diantara seribu tokoh di buku sejarah berdebu abu-abu.

 

Karena sebenarnya wanita dari Jepara itu cuma cerminan saja. Istri dari ayahmu dan nanti nenek dari anak-anakmu, dialah sebenarnya yang jadi Kartinimu.