Sunday, October 2, 2011

Dulu Saya Tukang Batumu

Di omongkan orang dicaci maki itu makanan sehari-hari. Terlambat untuk mengumpat. Sudah lambat, kamu masih mengumpat. Umpat saja, caci maki jangan lupa, gak akan merubah apa-apa semua akan tetap baik-baik saja.

Sekarang bahagia, bodo amat kalo kamu juga, atau tidak juga.

Permisi kalo menyakiti hati, tapi pecahkan dulu batu itu. Entah itu memang batu, atau kepalamu. Mungkin kepalamu sekeras batu? Saya tahu, teman-temanmu tahu, tapi kamu yang paling tahu. Sudah bosan main tumbuk batu, sudah cukup pengalaman yang dulu-dulu.

Tolong ya kamu bukan Presiden Republik Indonesia. Seharusnya dulu tahu kamu gak bisa selalu mendapat segala apa yang kamu minta. Minta seperti ini minta seperti itu, sejak kapan kamu menjadi ratu? Seharusnya gak ada primer sekunder, seharusnya semua egaliter.

Seperti dokter saja suka memvonis berlebih dosis. Masih belajar hukum sudah mau menjadi hakim? Hakim bau bensin? Sedikit daun kering gak berarti yang terbakar bisa cepat melebar, lebar berkoar.

Kata siapa disini gak ada kaca? Mulut lebar kepala besar saya juga punya. Tidak memukul kalo tidak didengkul. Tidak menghujat kalo tidak diumpat. Disini langitnya merah muda. Disana mulutmu selotip saja.

Dewasa itu pilihan, kekanakan bukan. Kekanakan itu tipikal.

Dan tipikal, selalu kekal. 

No comments:

Post a Comment