Monday, April 28, 2014

Majene, 22 April 2014, 17.26 WITA

Satu-satunya hal yang kudapati spesial, jika boleh dibilang begitu, di tengah dua puluh dua aprilku yang begitu banal adalah matahari senja tepi dermaga. Hahaha. Dua puluh dua april pertama setelah bermetamorfosa menjadi mur sekrup baut kantoran, katanya. Manusia paling dicinta di muka dunia, begitu dulu aku pernah merasa, merayakan dua puluh dua aprilnya bersama awan mendung yang tampak murung.

Awan mendung yang tampak murung, laut tenang yang tak kuasa riang tertawa, dan kayu-kayu tepi dermaga yang lapuk karena kesendiriannya.

Apakah memang seperti ini seharusnya hidup seorang manusia dewasa di dunia? Makan, berak, tidur, bekerja, tua, dan mati sebelum sempat menyadari bahwa dirinya benar-benar sendiri?

Delapan ratus dua puluh kilometer jauhnya ke arah barat daya segalanya berada. Teman berbincang dengan segudang lelucon murahan, para sahabat dengan tawa lepas yang hangat, ayah ibu yang untuk mereka berdua kubisikkan doa-doa sederhanaku selalu.

Delapan ratus dua puluh kilometer jauhnya ke arah barat daya, sepetak hangat itu rumah namanya. Sepetak hangat dimana aku bisa menemukan cinta dalam bentuknya yang paling kompleks, pun paling sederhana, pada saat yang sama. Sepetak hangat dimana hati berada, katanya. Sepetak hangat yang membuatku tahu, dan mengerti, bahwa tak ada doa yang berdiri sendiri. Tiap cuilnya akan dipanjatkan untuk sebuah alasan.

Alasan yang seharusnya cukup sebagai alasan untuk rela berpeluh melawan bosan dan kesendirian, sujud dan berdoa di tengah hening yang bertempik sorak menertawakannya. Pada Nya kita meminta dan untuk merekalah segala apa yang kita pinta. Alasan yang seharusnya cukup sebagai alasan mengapa rutinitas mur sekrup baut kantoran harus terus berulang, dan rindu yang cengeng harus diredam,

dalam-dalam.


Kukuh digilas waktu, tangguh dipijak jarak. 

Rapuh ditelan kesendirian.

No comments:

Post a Comment