“Alamaaak…”
(Headline Jawa Pos, Senin 27 Desember 2010)
“Malon culas !“
(Komentar dari ID xvicx, Kaskus)
“Dasar bencong petronas !”
(Komentar dari ID JeruJazzy, Kaskus)
“Jadi memang ada hal yang teman-teman tidak tahu. Bahwa sebetulnya, Timnas sudah mendapatkan terror. Ketika latihan menunggu bus lama, begitu ke tempat latihan di muka gawang ditaburkan sesuatu yang membuat timnas gatal-gatal.”
(Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, VIVAnews)
Mungkin kita memang sulit menerima kenyataan. Sulit menerima kenyataan kalo ternyata Timnas kita harus pulang dari negeri tetangga dengan tangan hampa. Sulit menerima kenyataan kalo Timnas yang kemenangan-kemenangan sebelumnya diklaim sana-sini itu bisa digunduli 0-3 begitu aja.
Sulit menerima kenyataan yang pada akhirnya membuat kita rame-rame menghujat dan mengeluh, terlalu banyak menghujat dan mengeluh yang membuat kita terdengar dan terlihat seperti sedang meracau. Terus meracau dan gak sadar kalo itu semua cuma bakal membuat segalanya menjadi semakin kacau.
Mari sedikit menengok ke belakang. Bagi yang cukup ngerti masalah sepakbola, pasti bukan hal yang sulit untuk membagi performa Timnas malam itu menjadi dua fase. Fase dimana Timnas kita bermain baik, meskipun mungkin tidak cukup baik, dan fase dimana Timnas kita bermain buruk, teramat buruk. Apa benang merah yang memisahkan keduanya? Lagi-lagi, meracau.
Kalo kita mau memperhatikan, performa Timnas kita malam itu menjadi benar-benar kacau setelah para pemain kita sibuk mengeluh, memprotes, dan meracau masalah laser hijau. Ya, saya tau kalo sebelumnya ketua umum PSSI yang terhormat itu sebelum pertandingan sudah gembar-gembor akan protes keras bila para pendukung negeri tetangga menggunakan laser untuk meneror kita. Saya juga sepenuhnya tau, kalo laser hijau itu benar-benar mengganggu. Tapi, apakah kalian tau apa yang kita dapat dari keluhan, protes, dan racauan itu?
Otot kembali mengendur, mental kacau, dan konsentrasi anjlok. Inilah yang terjadi. Para supporter negeri tetangga meneror dengan laser hijau, pemain sibuk protes dan meracau, otot mengendur mental kacau konsentrasi anjlok, dan BUM ! Kita kebobolan dan terlihat begitu goblok.
Saya mulai menyalahkan para pemain Timnas? Saya sama aja dengan mereka para supporter karbitan yang hanya karena satu kekalahan bisa berbalik dari sanjungan setinggi langit menjadi umpatan dan hujatan yang terdengar begitu pait? Gak, sama sekali enggak. Garuda di dada para pemain Timnas sudah cukup menjadi alasan bagi saya untuk selamanya mendukung mereka. Yang ingin saya katakan disini adalah, mungkin ini saatnya kita mulai diam. Diam dan berhenti meracau. Meracau tentang laser hijau, meracau tentang terror serbuk gatal (kambing hitam yang seperti ini sungguh bikin saya ketawa terpingkal-pingkal), meracau seakan-akan kita sudah menjadi sang juara disaat sebenarnya kita belum meraih apa-apa.
Gibbering means nothing. Meracau gak akan menganulir 3 gol yang disarangkan tim negeri tetangga ke gawang kita. Meracau juga gak bakal membuat para supporter negara tetangga sadar dan mengakui kalo tindakan mereka merupakan tindakan pengecut dalam olahraga. Tapi, ketinggalan agregat 3 gol juga bukan berarti akhir segalanya. Bola itu bulat, dan Garuda di dada mereka membuat saya yakin kalo sebenarnya mereka cukup kuat.
Just SHUT THE FUCK UP ! Mulailah diam, berusaha, dan berdoa yang terbaik untuk Garuda kita. Sebagai supporter dan Warga Negara Indonesia mari kembali mendukung Sang Garuda dan berdoa semoga 3 gol yang bersarang di gawang kita mampu dibayar dengan 5 gol ke gawang mereka. Mari kembali mendukung Sang Garuda dan berdoa semoga gelar juara yang sudah terlalu lama ditunggu itu segera datang dan bisa menjadi sedikit hiburan bagi 200 juta rakyat kita yang sepertinya sudah lelah menghadapi tingginya harga sembako, politik yang semakin melodramatik, dan sejuta realitas kerasnya kehidupan.
STAND UP ! FACE THEM UP ! Di Bukit Jalil mereka beri laser hijau untuk kita, di GBK kita kirim mereka kembali ke neraka !
*karena dendam bukan halangan untuk menyerang dan menikam dengan elegan
No comments:
Post a Comment