Adalah menarik sekaligus memuakkan melihat bagaimana rakyat seantero negara merayakan siklus lima tahunan yang mereka sebut pesta: Pemilihan Raya. Menarik karena oh siapa yang tidak merasakan gegap gempitanya? Memuakkan karena melihat seluruh bagian kota, kolong kampung, dan sudut-sudut desa memperbincangkan apa-apa yang begitu seragam dan senada: Siapa presiden berikutnya?
Terima kasih Tuhan atas Piala Dunia sebagai selingan, tapi hidup kembali menjadi jauh lebih memuakkan karena kemudian pemerhati & pengamat yang dangkal dan tukang debat yang bebal tiba-tiba bermunculan bagai jamur di musim penghujan. Yang memvonis hanya berlandaskan "katanya", dan membaiat diri dengan fanatisme taqlid buta hanya bermodalkan "sepertinya".
Bahwa yang itu buruk dan yang ini baik. Bahwa yang itu merakyat dan yang ini penculik. Bahwa yang ini pemimpin tegas berwibawa sementara yang lainnya cuma boneka belaka. Bagaimana hak manusia yang paling fundamental seperti beragama atau tidak beragama lantas menjadi komoditi dengan repot-repot mengagendakan wacana "Pemurnian", sejak kapan Anda dan kalian ditahbiskan menjadi Tuhan? Bagaimana pilihan dijatuhkan hanya atas pertimbangan janji gaji kacung negara akan dinaikkan sekian persennya, semurah itukah harga kita? Bagaimana sibuknya mengatai kubu seberang sebagai pemerkosa HAM dan lantas lupa dan menutup mata bahwa di pihaknya ada "mereka-mereka" yang "itu-itu" juga, amboi lihat bagaimana kefanatikan yang terlalu telah membodohkanmu!
Harus ada yang disalahkan atas penyama-artian terminologi pesta terhadap pemilu raya. Bahwa pesta adalah saat dimana aku kamu dan kita berebut hidangan di atas meja, untuk kemudian dengan segera merasa kekenyangan tapi menafikan mereka-mereka yang bahkan tidak sempat kebagian sepotong kue dan secuil roti lantas dengan amat terlambat kita semua menyadari, apa sebenarnya yang sedang kita rayakan saat ini?
Jika umat beragama yang bodoh disenangi pemuka agama yang tamak, rakyat yang pandir disukai penguasa yang culas. Selama kita berdebat kusir hanya bermodal "katanya" dan "sepertinya", selama kita menjatuhkan pilihan hanya berlandaskan fanatisme taqlid buta semata, selama kita disibukkan diskusi dan dialog asimetrik yang tak empirik, selama kita senang menjadi bodoh dan nyaman untuk tak kunjung pintar, selama itu pula mereka yang di atas kelak akan duduk empuk dan gemuk sementara aku dan kamu sibuk menggali setengah mati demi secuil roti dan remah, sampai entah.
Anak cucu Adam dan Hawa terlahir bodoh dan tak tahu apa-apa sampai kemudian angkasa yang terbentang luas mengajarkan pada mereka bahwa seisi dunia ada untuk digali dan dipelajari kebenaran, dan ketidakbenarannya. Jikapun pada saatnya nanti kita harus memilih (jika dan hanya jika) yang terbaik diantara yang baik-baik (atau yang terbaik diantara yang buruk-buruk), maka sudah semestinya kita memasuki bilik suara sebagai manusia, bukan sebagai kerbau dungu yang rela saja dicocok hidungnya.
Ketika dulu seorang kolega bertanya apa modal agar Indonesia lebih baik ke depannya, maka seharusnya aku menjawabnya:
Rakyat yang tidak mudah percaya.
No comments:
Post a Comment