Gedung pencakar langit berdiri pongah, parkiran kendaraan dipenuhi mobil mewah. Sebagian orang hidup dan menjalani hari-harinya di lingkungan seperti itu. Mungkin apa yang disebut dengan kebahagiaan bisa mereka rasakan saat pagi sampai sore hari berada di belakang meja, malamnya berpesta. Berangkat liburan dan belanja di Singapura, operasi implan payudara, berbagai rupa kebahagiaan jetset lainnya.
Kolong jembatan di tengah perkotaan. Kawasan rumah -kalau bisa disebut rumah- berdindingkan triplek, beratapkan seng rombeng. Sebagian orang yang lain ini mengadu untung dengan mengais sampah, mengais puntung. Kebahagiaan bagi mereka mungkin berarti saat tumpukan kardus bekas dan botol bir yang dipunguti hari ini cukup untuk ditukar dengan beberapa liter beras, beberapa bungkus nasi.
Kali ini si anak gak perlu menangis lagi, sudah bosan berkali-kali memakan yang basi.
***
Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga, dalam Declaration of Independence menggembar-gemborkan masalah hak untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.
Mengejar kebahagiaan.
Beberapa orang kemudian memaknai bahwa kebahagiaan hanya sekedar untuk dikejar. Bukan untuk benar-benar dimiliki, bukan untuk benar-benar dinikmati.
Omong kosong skeptikal lagi.
Lihat mereka yang bergelimang kemewahan, tengok mereka yang hidup di kolong jembatan. Perhatikan apa yang menjadi perbedaan dan kemudian kalian akan sadar bahwa kebahagian bukan sekedar untuk dikejar.
Kebahagiaan itu dimiliki, kebahagiaan itu dinikmati. Kebahagiaan akan dimiliki dan dinikmati dalam interpretasinya sendiri. Onggokan perhiasan emas atau tumpukan kardus bekas. Lembaran dollar di brankas besi atau sebungkus nasi makan malam anakmu nanti.
Kebahagiaan bukan sekedar untuk dikejar, kebahagiaan memang bukan untuk dikejar. Jangan dikejar, jangan berlari. Karena saat kalian memutuskan untuk berlari, kalian gak akan pernah berhenti.
Kebahagiaan itu dimiliki, kebahagiaan itu dinikmati. Kebahagiaan itu, diciptakan.
No comments:
Post a Comment