Laki-laki itu bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian meraih sloki yang lain.
Sudah
sekira tiga puluh tujuh menit yang lalu sejak lelaki itu memesan sloki Wyborowa
vodkanya yang pertama. Tak sedikitpun digubrisnya musik yang riuh di tengah bar
yang hampir-hampir penuh. Tatapannya yang kosong seakan menahkikkan air muka
yang telah lelah berusaha memecahkan rumus-rumus kesedihan yang tak terelakkan.
Kesedihan
yang bahkan tak jua mampu dihapuskan oleh seorang pramuria yang mendatanginya
untuk menawarkan sebentuk kehangatan yang lain. Mungkin, untuk lelaki itu,
malam ini sudah terlanjur dingin. Benar-benar dingin. Teramat dingin. Hingga
tak ada lagi yang lebih dingin. Dingin yang kutau bisa kuhapuskan, tapi ku tak
ingin. Tak butuh waktu lama bagi sang pramuria untuk beranjak dengan tangan
hampa karena tahu betul bahwa kesedihan yang benar-benar dalam adalah serupa
sakit akut yang tak benar-benar dapat disembuhkan dalam satu malam. Atau
bermalam-malam.
Televisi
yang tergantung di atas deretan botol-botol minuman impor menayangkan balap
motor dan berita perang mancanegara dan pertandingan-pertandingan gulat
Amerika, dengan sesekali pariwara ramalan
cuaca. Ramalan cuaca yang diyakininya, lelaki itu, tak lebih dari sepotong,
atau berpotong-potong omong kosong. Baginya yang lampau adalah topan, yang kini
adalah badai, yang esok adalah taifun.
Laki-laki
itu masih bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali
sentak, sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian,
sekali lagi, meraih sloki yang lain.
Dilipatnya
tangan kanannya di meja bar yang sejajar dada, dengan tangan kiri yang sibuk
menopang dagu, kepala, dan sepasang mata yang seperti membersitkan imaji tanah
kuburan-kuburan tua dan ladang-ladang gandum yang terbakar dalam senja.
Sepasang mata yang menjelmakan gambaran bunga-bunga sakura yang layu dan rumah
tua tak terawat yang sedih dan berdebu. Sepasang mata yang tak benar-benar
asing, sepasang mata yang lalu beradu dengan mataku, dan tiba-tiba, bagiku,
yang lampau adalah topan, yang kini adalah badai, yang esok
adalah entah.
***
Aku
bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak,
sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian kembali
meraih sloki yang lain.
Sudah
sekira tiga puluh tujuh menit yang lalu sejak aku memesan sloki Wyborowa vodka yang
pertama. Tak sedikitpun kugubris musik yang riuh di tengah bar yang
hampir-hampir penuh. Tatapanku yang kosong seakan menahkikkan air muka yang
telah lelah berusaha memecahkan rumus-rumus kesedihan yang tak terelakkan.
Benar begitu memang.
Kesedihan
yang bahkan tak jua mampu dihapuskan oleh seorang pramuria yang mendatangiku
untuk menawarkan sebentuk kehangatan yang lain. Mungkin, untukku, malam ini
sudah terlanjur dingin. Benar-benar dingin. Teramat dingin. Hingga tak ada lagi
yang lebih dingin. Dingin yang kutau hanya bisa dihapuskan oleh satu nama, dan
bukan oleh yang lain. Tak butuh waktu lama bagi
sang pramuria untuk beranjak dengan tangan hampa karena tahu betul bahwa
kesedihanku yang benar-benar dalam adalah serupa sakit akut yang tak
benar-benar dapat disembuhkan dalam satu malam. Atau bermalam-malam.
Televisi
yang tergantung di atas deretan botol-botol minuman impor menayangkan balap
motor dan berita perang mancanegara dan pertandingan-pertandingan gulat
Amerika, dengan sesekali pariwara
ramalan cuaca. Ramalan cuaca yang kuyakini tak lebih dari sepotong, atau
berpotong-potong omong kosong. Bagiku yang lampau adalah topan, yang kini
adalah badai, yang esok adalah taifun.
Aku masih
bersandar di ujung meja bar, menenggak sesloki vodka dalam sekali sentak,
sebentar saja mengernyitkan dahi dan memicingkan mata, untuk kemudian, sekali
lagi, meraih sloki yang lain.
Kulipat
tangan kananku di meja bar yang sejajar dada, dengan tangan kiri yang sibuk
menopang dagu saat kusadari bahwa tujuh depa dariku terdapat sepasang mata itu.
Sepasang mata yang seperti membersitkan imaji padang rumput hijau yang permai
dan debur ombak pantai yang damai. Sepasang mata yang menjelmakan gambaran bunga-bunga
gladiol yang mekar mewangi di halaman rumah tempatku berpulang setiap hari.
Sepasang mata yang kutau darinya, dan hanya darinya, bisa kudapat hangat yang
paripurna, yang benar-benar berbeda, teduh yang betul-betul lain. Sepasang mata
yang akan kuyakinkan kembali bahwa biji harapan akan tumbuh, meski di tanah
kenangan yang kejam dan tandus. Malam ini akan kuhampirinya, sepasang mata itu,
dengan membawa sebuah ramalan cuaca.
Bahwa yang
lampau adalah topan, yang kini adalah badai, namun yang esok
adalah
Sabtu sore yang cerah.